Sholat Musafir, Dalil Sholat Jama’
Banyak yang beranggapan bahwa jama’
merupakan ketentuan yang tidak terkait dengan qashar. Sejatinya kedua
cara sholat ini tidak ada kaitannya dan mempunyai ketentuan sendiri-sendiri,
hanya saja sering keduanya dilaksanakan secara bersamaan. Jadi melakukan qashar
sholat dan sekaligus melakukan jama’. Sholat seperti itu disebut jama’
qashar.
Para ulama melihat bahwa ketentuan jama’
lebih longgar dibandingkan dengan qashar. Qashar boleh dilakukan
pada kondisi tertentu dan sesuai aturan dan syarat di atas, tetapi jama’
mempunyai ketentuan yang tidak seketat ketentuan di atas.
Para ulama juga berbeda pendapat
mengenai diperbolehkannya jama’ sholat. Mayoritas ulama mengatakan jama’
sholat hukumnya boleh dan merupakan hak musafir. Karena hukumnya boleh maka
seorang musafir boleh malakukan jama’ dan boleh tidak melakukannya.
Melakukannya dengan keyakinan mengikuti Rasululah SAW adalah kesunahan.
Dalil-dalil yang menunjukkan
dipebolehkannya jama’ adalah antara lain:
1.
Hadist
riwayat Bukhari dari Anas bin Malik r.a. belaiu berkata bahwa Rasulullah SAW
menggabung sholat Maghrib dan Isya' pada saat bepergian.
2.
Hadist
riwayat Muslim dari Muadz beliau berkata: kami bepergian bersama Rasulullah SAW
untuk perang Tabuk, beliau melakukan sholat Dhuhur dan Ashar secara digabung
dan begitu juga dengan sholat Maghrib dan Isya'.
A.
Hadist
Anas bin Malik r.a.: “Rasulullah SAW ketika bepergian sebelum matahari
condong ke barat, beliau mengakhirkan sholat dhuhur di waktu ashar, lalu beliau
berhenti dan sholat keduanya. Apabila beliau berangkat setelah masuk waktu
sholat maka beliau sholat dulu lalu memulai perjalanan". (HR. Bukhari
Muslim).
B.
Hadist
Ibnu Umar r.a. berkata: suatu hari aku dimintai pertolongan oleh salah satu
keluarganya yang tinggal jauh sehingga beliau melakukan perjalanan, beliau
mengakhirkan maghrib hingga waktu isya' kemudian berhenti dan melakukan kedua
sholat secara jama’, kemudian beliau menceritakan bahwa itu yang dilakukan
Rasulullah SAW ketika menghadapi perjalanan panjang.
Kedua hadist di atas juga dijadikan
landasan diperbolehkannya jama’ taqdim, yaitu melakukan kedua
pasangan sholat di atas dalam waktu pertama.
Hadist Muadz r.a. bahwa Rasulullah SAW
pada waktu perang Tabuk, manakala beliau meulai perjalanan setelah Maghrib,
beliau memajukan Isya' dan melaksanakannya di waktu sholat maghrib. (HR. Ahmad,
Abu Dawud dan Tirmidzi dan beliau menghasankan hadist ini).
Sebagian ulama dari kelompok ini
mengatakan bahwa yang utama bagi musafir yang sedang dalam perjalanan adalah
melakukan jama’. Sedangkan musafir yang melakukan transit atau stop
over lebih utama melakukan sempurna. Yang jelas dengan semangat mengikuti
sunnah Rasulullah SAW maka kita mengikuti yang paling mudah dan meringankan
sejauh itu tidak dosa. Rasulullah SAW tidak pernah disodori dua pilihan kecuali
mengambil yang paling mudah selama itu tidak dosa, kalau itu dosa maka beliau
yang paling gigih menjauhinya (HR. Bukhari dan Muslim).
Pendapat kedua adalah yang diikuti
imam Ibu Hanifah atau mazhab Hanafi mengatakan bahwa sholat jama’ hanya
boleh dilakukan pada hari Arafah untuk para jamaah haji, yaitu jama’ taqdim,
dan jama’ ta'khir pada malam Muzdalifah. Alasan pendapat ini
bahwa riwayat-riwayat yang menceritakan waktu-waktu sholat adalah hadist mutawaatir
(diriwayatkan banyak orang), sedangkan hadist yang meriwayatkan jama’
selain di waktu haji adalah hadist Ahad (personal), hadist yang mutawaatir
tidak bisa ditinggalkan dengan hadist ahad. Pendapat ini juga melandaskan pada
riwayat Ibnu Mas'ud r.a. beliau berkata: "Demi Dzat yang tidak ada
tuhan lain yang menyekutuinya, Rasulullah SAW tidak pernah melakukan sholat
kecuali pada waktunya kecuali dua sholat, yaitu beliau melakukan jama’ (taqdim)
dhuhur dan ashar di Arafah dan jama’ (ta'khir) maghrib dan isya di
Muzdalifah" (HR. Bukhari Muslim).
0 Response to "Pembahasan Dalil Tentang Sholat Jama'"
Posting Komentar