1. Pengertian Thoharoh
Thoharoh dengan harokat fathah pada huruf tho’ menurut bahasa
adalah bersih. Sedangkan menurut syara’, maka didalamnya terdapat banyak
penafsiran. Diantaranya adalah ungkapan ulama’ “Melakukan sesuatu yang
dengannya sholat diperbolehkan” yaitu berupa wudlu, mandi, tayamum dan
menghilangkan najis. Sedangkan “thuharoh” dengan harokat dlomah (pada huruf
tho’) adalah sebutan bagi sisa air.
2.
Macam
Macam Air
Air-air yang boleh, maksudnya sah digunakan bersuci dengannya ada tujuh
macam air.
1.
Air
langit maksudnya yang turun dari langit, yaitu hujan,
2.
Air
laut maksudnya air asin
3.
Air
sungai yaitu air tawar
4.
Air
sumur,
5.
Air
sumber air,
6.
Air
tsalju dan
7.
Air
dingin (air embun).
3.
Pembagian
Air
Air dibagi menjadi 4 bagian, yaitu :
Pertama; air suci dan mensucikan atau air mutlaq, Air yang suci
dzatnya menyucikan terhadap selainnya dan tidak makruh digunakan. Yaitu Air
yang terbebas dari identitas yang mengikat. Maka keberadaan identitas yang
tidak mengikat itu tidak membahayakan terhadap kemutlakan air.
Kedua adalah air suci menyucikan namun makruh digunakan pada tubuh, tidak makruh pada
pakaian, yaitu air Musyammas. Ialah air yang dipanaskan dengan mengandalkan
pengaruh sengatan matahari padanya. Air tersebut secara syara’ dimakruhkan penggunaanya hanya di
daerah yang bercuaca panas dan air berada di wadah yang terbuat dari logam
selain wadah dari dua logam mulia /emas dan perak, sebab kejernihan elemen keduanya. Jika air
tersebut telah dingin maka hilanglah hukum makruh menggunakannya. Tetapi imam
An-Nawawi memilih pendapat yang menyatakan tidak makruh secara mutlak. (Selain
makuh menggunakan air musyammas) dimakruhkan juga menggunakan air yang sangat
panas dan sangat dingin.
Syarat dimakruhkannya air musyammas sebagai berikut:
1.
Berada
di daerah bercuaca panas seperti Mekah dsb. Sehingga tidak makruh jika
digunakan dalam daerah yang bercuaca sedang seperti negara Mesir atau daerah
Jawa dan daerah dingin seperti Syiria dsb.
2.
Sengatan
matahari merubah kondisi air sekira pada air muncul zat yang berasal dari karat
logam.
3.
Air
berada pada wadah yang terbuat dari logam selain emas perak. Seperti wadah yang
terbuat dari logam besi, tembaga dsb.
4.
Digunakan
saat suhu air sedang panas.
5.
Digunakan
pada kulit badan. Meskipun pada badan orang yang terkena penyakit kusta, orang
mati dan hewan.
6.
Dipanaskan
saat cuaca panas.
7.
Masih
ada air selain musyammas yang dapat dipergunakan.
8.
Waktu
sholat masih longgar sehingga masih ada waktu untuk mencari air yang lain.
9.
Tidak
mendapat bahaya secara nyata atau dalam dugaan kuatnya. Jika meyakini atau
menduga akan muncul bahaya maka haram hukumnya.
Bila tidak memenuhi sembilan syarat ini maka hukum menggunakannya
tidak lagi makruh. Nihayat az-Zain, Darul Kutub Al-Ilmiyah, hal. 17
Ketiga adalah:
1.
Air
suci dalam dzatnya tidak menyucikan terhadap selainnya. Ialah air musta’mal /
yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats atau najis. (Dihukumi musta’mal
dengan syarat) air tidak berubah dan setelah terpisah (dari benda yang dibasuh)
volume air tidak bertambah dari semula dengan mengira-ngirakan bagian air yang
terserap oleh benda yang dibasuh.
2.
Air
yang berubah. Maksudnya yang termasuk dalam bagian ketiga ini adalah air yang
berubah salah satu sifat-sifatnya disebabkan oleh sesuatu; yaitu salah satu
dari benda-benda suci yang bercampur dengan air, dengan taraf perubahan yang
dapat menghalangi sebutan nama air (murni) padanya*. Maka air yang seperti ini
hukumnya adalah suci dalam dirinya namun tidak menyucikan. Baik perubahan itu
nampak oleh panca indra atau hanya dalam perkiraan, seperti ketika air
tercampur oleh benda yang sesuai (dengan air) dalam sifat-sifatnya, misal air
bunga mawar yang telah hilang baunya (dicampur dengan air mutlak) dan seperti
air musta’mal (dicampur dengan air mutlak).
Sehingga bila saja perubahan itu tidak mencegah penisbatan nama air
mutlak padanya, dengan sekira perubahan air yang disebabkan oleh benda suci itu
hanya sedikit, atau dengan sesuatu yang cocok terhadap air dalam sifatnya dan
dianggap berbeda dengan air namun tidak sampai membuatnya berubah (dari
kemurnian air) maka perubahan itu tidak menghilangkan sifat suci mensucikannya
air. Sehingga air (yang dijelaskan terakhir ini) masih dapat mensucikan
terhadap selainnya.
Al-Syaikh Al-Imam Al-’Alim Al-’Allamah Syams Ad-Din Abu ‘Abdillah
Muhammad Ibn Qosim As-Syafi’I dalam kitab fathul qorib mengungkapkan mushonif
kitab Taqrib mengecualikan dengan ungkapannya “خَالَطَهُ” dari benda
yang suci yang hanya mukholith/ tidak larut pada air maka air tersebut masih
berada pada status suci mensucikan meskipun perubahan air sangat nampak. Begitu
pula (seperti air yang bersinggungan dengan benda suci yang dihukumi masih
mensucikan) air yang berubah sebab tercampur dengan benda yang larut namun air
tidak terlepas dari persinggungan dengannya. Seperti lumpur, lumut, benda-benda
yang berada di tempat berdiamnya air atau di tempat mengalirnya air, dan air
yang berubah disebabkan lamanya diam (tanpa gerak). Maka air-air ini (secara
hukum) adalah suci mensucikan.
Keempat adalah air najis, maksudnya mutanajis. Air ini ada dua
bagian:
Yang pertama adalah yang volumenya sedikit; yaitu air yang
didalamnya terdapat najis baik air mengalami perubahan atau tidak dan air
tersebut; maksudnya kondisi air tersebut adalah air yang kurang dari dua qullah.
Dari bagian ini dikecualikan (air kemasukan) bangkai binatang yang
tidak memiliki darah yang dapat mengalir saat dibunuh atau dirobek bagian
tubuhnya - seperti lalat- jika (masuknya bangkai tersebut ke dalam air itu )
tidak (ada kesengajaan) memasukkannya. Begitu juga najis yang tidak terlihat
oleh mata. Maka kedua najis tersebut tidak menajiskan benda cair. Juga
dikecualikan beberapa kasus yang disebutkan dalam kitab-kitab besar.
Kedua : air yang mencapai 2 Qullah atau lebih. Air ini tidak najis
bila terkena sesuatu yang najis, selama ia tidak berubah warna, rasa, dan bau
air tersebut. Apabila ia berubah, maka air tersebut berubah menjadi najis.
Adapun dalilnya adalah ijma’ ulama atas hal ini. Imam an-Nawawi dalam kitab
al-Majmu’ berkata : Ibn Mundzir berkata : para ulama bersepakat bahwa air
sedikit atau pun air banyak bila terkena najis kemudian berubah warna, bau dan
rasanya maka air tersebut najis.
Dua qullah adalah takaran 500 Rithl Baghdad dengan
mengira-ngirakannya menurut pendapat Ashah (pendapat yang lebih shohih/benar
dibanding pendapat yang lain) dalam dua kriteria tersebut; (yakni takaran 500
rithl dan dengan mengira-ngirakannya). Rithl Baghdad menurut An-Nawawy adalah
128 4/7 dirham.
Namun ada lagi bagian ke lima yaitu air yang menyucikan namun haram
menggunakannya. Seperti wudlu menggunakan air ghosob atau menggunakaan air yang
disediakan untuk minum
Kitab Rujukan Fathul Qorib Karya Al-Syaikh Al-Imam Al-’Alim
Al-’Allamah Syams Ad-Din Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Qosim As-Syafi’I
كِتَابُ
أَحْكَامِ الطَّهَارَةِ
وَالْكِتَابُ
لُغَةً مَصْدَرٌ بِمَعْنَى الضَّمِّ وَالجَمْعِ. وَاصْطِلَاحاً اسْمٌ لِجِنْسٍ
مِنَ الأَحْكَامِ. أَمَّا الْبَابُ فَاسْمٌ لِنَوْعٍ مِمَّا دَخَلَ تَحْتَ ذَلِكَ
الْجِنْسِ.
وَالطَّهَارَةُ
بِفَتْحِ الظَّاءِ لُغَةً النَّظَافَةُ. وَأَمَّا شَرْعاً فَفِيْهَا تَفَاسِيْرُ
كَثِيْرَةٌ. مِنْهَا قَوْلُهُمْ فِعْلُ مَا تُسْتَبَاحُ بِهِ الصَّلَاة أَيْ مِنْ
وُضُوْءٍ وَغَسْلٍ وَتَيَمُّمٍ وَإِزَالَةِ نَجَاسَةٍ. أَمَّا الطُّهَارَةُ
بِالضَّمِّ فَاسْمٌ لِبَقِيَّةِ المَاءِ.
وَلَمَّا
كَانَ المَاءُ آلَةً لِلطَّهَارَةِ اسْتَطْرَدَ المُصَنِّفُ لِأَنْوَاعِ المِيَاهِ
فَقَالَ:(المِيَاهُ الَّتِيْ يَجُوْزُ) أَيْ يَصِحُّ (التَّطْهِيْرُ بِهَا سَبْعُ
مِيَاهٍ مَاءُ السَّمَاءِ) أي النَّازِلُ مِنْهَا وَهُوَ المَطَرُ (وَمَاءُ
البَحْرِ) أيْ المِلْحِ (وَمَاءُ النَّهَرِ) أي الحُلْوِ (وَمَاءُ البِئْرِ
وَمَاءُ العَيْنِ وَمَاء الثَّلْجِ وَمَاء البَرَدِ) وَيَجْمَعُ هَذِهِ
السَّبْعَةِ قَوْلُكَ: مَا نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ أَوْ نَبَعَ مِنَ الأَرْضِ
عَلَى أَيِّ صِفَةٍ كَانَ مِنْ أَصْلِ الخِلْقَةِ(ثُمَّ المِيَاهُ) تَنْقَسِمُ
(عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ) أَحَدُهَا (طَاهِرٌ) فِيْ نَفْسِهِ (مُطَهِّرٌ)
لِغَيْرِهِ (غَيْرُ مَكْرُوْهٍ اسْتِعْمَالُهُ. وَهُوَ المَاءُ المُطْلَقُ) عَنْ
قَيِّدٍ لَازِمٍ فَلَا يَضُرُّ القَيِّدُ المُنْفَكُّ كَمَاءِ البِئْرِ فِي
كَوْنِهِ مُطْلَقاً (وَ) الثَّانِي (طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ مَكْرُوْهٌ اسْتِعْمَالُهُ)
فِي البَدَنِ لَا فِي الثَّوْبِ (وَهُوَ المَاءُ المُشَمَّسُ) أي المُسَخَّنُ
بِتَأْثِيْرِ الشَّمْسِ فِيْهِ. وَإِنَّمَا يُكْرَهُ شَرْعاً بِقَطْرٍ حَارٍ فِي
إِنَاءٍ مُنْطَبَعٍ إِلَّا إِنَاءَ النَّقْدَيْنِ لِصَفَاءِ جَوْهَرِهِمَا.
وَإِذَا بَرَدَ زَالَتْ الكَرَاهَةُ. وَاخْتَارَ النَّوَوِيُّ عَدَمَ الْكَرَاهَةِ
مُطْلَقاً. وَيُكْرَهُ أَيْضاً شَدِيْدُ السُّخُوْنَةِ وَالبُرُوْدَةِ (وَ)
القِسْمُ الثَّالِثُ (طَاهِرٌ) فِي نَفْسِهِ (غَيْرُ مُطَهِّرٍ) لِغَيْرِهِ
(وَهُوَ المَاءُ المُسْتَعْمَلُ) فِي رَفْعِ حَدَثٍ أَوْ إِزَالَة نَجْسٍ إِنْ
لَمْ يَتَغَيَّرْ وَلَمْ يَزِدْ وَزْنُهُ بَعْدَ انْفِصَالِهِ عَمَّا كَانَ بَعْدَ
اعْتِبَارِ مَا يَتَشَرَّبُهُ المَغْسُوْلُ مِنَ المَاءِ. (وَالمُتَغَيِّرُ) أَيْ
وَمِنْ هَذَا القِسْمِ المَاءُ المُتَغَيِّرُ أَحَدُ أَوْصَافِهِ (بِمَا) أَيْ
بِشَيْءٍ (خَالَطَهُ مِنَ الطَّاهِرَاتِ) تَغَيُّراً يَمْنَعُ إِطْلَاقَ اسْمِ
المَاءِ عَلَيْهِ. فَإِنَّهُ طَاهِرٌ غَيْرُ طَهُوْرٍ حِسِّيًّا كَانَ
التَّغَيُّرُ أَوْ تَقْدِيْرِيًّا. كَأَنْ اخْتَلَطَ بِالمَاءِ مَا يُوَافِقُهُ
فِي صِفَاتِهِ كَمَاءِ الوَرْدِ المُنْقَطِعِ الرَّائِحَةِ وَالمَاءِ
المُسْتَعْمَلِ فَإِنْ لَمْ يَمْنَعْ إِطْلَاقَ اسْمِ المَاءِ عَلَيْهِ بِأَنْ
كَانَ تَغَيُّرُهُ بِالطَّاهِرِ يَسِيْراً أَوْ بِمَا يُوَافِقِ المَاءَ فِي
صِفَاتِهِ وَقُدِّرَ مُخَالِفاً وَلَمْ يُغَيِّرْهُ فَلَا يَسْلُبُ
طَهُوْرِيَّتَهُ. فَهُوَ مُطَهِّرٌ لِغَيْرِهِ.وَاحْتَرَزَ بِقَوْلِهِ خَالَطَهُ
عَنِ الطَّاهِرِ المُجَاوِرِ لَهُ. فَإِنَّهُ بَاقٍ عَلَى طَهُوْرِيَّتِهِ. وَلَوْ
كَانَ التَّغَيُّرُ كَثِيْراً وَكَذَا المُتَغَيِّرُ بِمُخَالِطٍ. لَا يَسْتَغْنِي
المَاءُ عَنْهُ كَطِيْنٍ وَطُحْلَبٍ. وَمَا فِي مَقَرِّهِ وَمَمَرِّهِ.
وَالمُتَغَيِّرُ بِطُوْلِ المُكْثِ فَإِنَّهُ طَهُوْرٌ. (و) القِسْمُ الرَّابِعُ
(مَاءُ نَجْسٍ) أي مُتَنَجِّسٌ وَهُوَ قِسْمَانِ أَحَدُهُمَا قَلِيْلٌ (وَهُوَ
الَّذِيْ حَلَّتْ فِيْهِ نَجَاسَةٌ) تَغَيَّرَ أَمْ لَا (وَهُوَ) أَيْ وَالحَالُ
أَنَّهُ مَاءٌ (دُوْنَ القُلَّتَيْنِ) وَيُسْتَثْنَى مِنْ هَذَا القِسْمُ
المَيْتَةُ الَّتِيْ لَا دَمَ لَهَا سَائِلٌ عِنْدَ قَتْلِهَا أَوْ شَقِّ عُضْوٍ
مِنْهَا كَالذُّبَابِ إِنْ لَمْ تُطْرَحْ فِيْهِ وَلَمْ تُغَيِّرْهُ. وَكَذَا
النَّجَاسَةُ الَّتِيْ لَا يُدْرِكُهَا الطَّرْفُ. فَكُلٌّ مِنْهُمَا لَا يُنْجِسُ
المَائِعَ وَيُسْتَثْنَى أَيْضاً صُوَرٌ مَذْكُوْرَةٌ فِي المَبْسُوْطَاتِ.
وَأَشَارَ لِلْقِسْمِ الثَّانِي مِنَ القِسْمِ الرَّابِعِ بِقَوْلِهِ (أَوْ كَانَ)
كَثِيْراً (قُلَّتَيْنِ) فَأَكْثَرَ (فَتَغَيَّرَ) يَسِيْراً أَوْ كَثِيْراً.
(وَالْقُلَّتَانِ خَمْسُمِائَةِ رِطْلٍ بَغْدَادِيٍّ تَقْرِيْباً فِي الأَصَحِّ)
فِيْهِمَا وَالرِّطْلُ البَغْدَادِيُّ عِنْدَ النَّوَوِيِّ مِائْةٌ وَثَمَانِيَةٌ
وَعِشْرُوْنَ دِرْهَماً وَأَرْبَعَةُ أَسْبَاعِ دِرْهَمٍ. وَتَرَكَ المُصَ
نِّفُ
قِسْماً خَامِساً وَهُوَ المَاءُ المُطَهِّرُ الحَرَامُ كَالوُضُوْءِ بِمَاءٍ
مَغْصُوْبٍ أَوْ مُسَبَّلٍ لِلشُّرْبِ
0 Response to "Pembahasan Tentang Thoharoh atau Bersuci"
Posting Komentar